Demi Surga Tersembunyi di Trenggalek

Karena sudah “sakaw” dengan riding dan touring, hari libur sehari dipakailah untuk touring. Padahal, keesokan harinya Bapake kudu berangkat pagi ke Solo, hehehe. Mau enggak mau, kami harus pulang hari itu juga. Tapi, ya, namanya juga emak-emak, saya tetap saja menyiapkan baju ganti kalau-kalau ada halangan (biar agak ngirit, enggak usah beli baju kayak waktu di Seru, Tapi Menderita, wkwkwkwk. Seperti biasanya juga, kami belum menentukan hendak ke mana. Pokoknya ke timur! Nah, kali ini kami bisa berangkat agak pagi meskipun rencana Bapake sih berangkat habis subuh! Hahaha.

Kenyataannya adalah kami berangkat pukul 7.00 pagi. Seperti biasa juga kami lewat jalur biasanya kalau ke timur. Eh, tapi … ketika akan naik menuju Petir, ada papan pemberitahuan bahwa jalan ditutup! Eng-ing-eng. Ini jalan lumayan ngeri-ngeri sedaplah.

IMG_20170525_075316
TOTAL!

Dengan pedenya Bapake ambil kiri, berbekal insting (haiah) mengikuti arah matahari bersinar (iya, po?). Tapi, lama-lama kok makin berasa jauh dari tujuan? Hingga tersadar, kok kami malah masuk wilayah Kalasan/Prambanan? Wah…..salah jalan, nih! Akhirnya, tanya juga sama Mbah Google jalan menuju Wonogiri. Tapi, Mbah Google maunya kasih petunjuk lewat Solo! Enggak maulah Bapake kalau lewat Solo!

Ya sudah, pilihannya adalah balik ke arah jalan ditutup. Pokoknya enggak mau lewat Solo seperti yang disarankan oleh Mbah Google! Titik! Hihihi … ketemu lagi deh sama truk yang berhenti karena muatannya diturunkan. Begitu sampai di jalan yang ditutup, baru deh tanya sama mas-mas yang saat itu ada di sana. Benar, kok, jalannya itu, nanti belok kanan, begitu katanya. Baiklah, balik lagi kami ke arah tadi. Ketemu lagi deh sama truknya tadi. Hehehe. Ternyata, eh, ternyata … kami kebablasan jauh dari semacam pertigaan. Ya iyalah, kalau terlalu bersemangat ngegas, enggak merhatiin tanda yang ada di kanan jalan, ya enggak tahu bahwa ada tanda seuprit (kayak nama saya aja) dan seadanya yang dipasang di tiang. “Capcay” deh …. “Kebuang” deh sekitar setengah jam perjalanan.

Ah, begitu masuk jalan situ, kelihatan deh kami mendekati menara-menara televisi yang berjibun itu. Yuhu, kami di jalan yang benar. Hehehe. Nah, yang menarik dari arah sini adalah rutenya ternyata tembus ke jalan alternatif yang sering kami lihat di sisi kiri jalan menjelang Gunung Purba Nglanggeran kalau dari jalan yang ditutup tadi itu. Jalan yang belum jadi itu konon adalah penghubung dari arah Prambanan menuju Gunung Kidul sehingga tidak perlu melewati Bukit Bintang. Jalannya gede banget!!!! Padahal, jalannya masih bopeng sana sini, hancur, alias offroad, deh. Menjelang Gunung Purba, jalannya baru agak mulus. Entah deh ini bakal jadi kapan. (video ada di sini https://www.instagram.com/p/BUlPOpWB3Q-/?taken-by=pritameani).

Berhubung tadi sebelum berangkat cuma mengganjal perut dengan roti, kami memilih untuk sarapan di Warung Makan Nasi Merah Padi Gogo, Semanu. Sudah lama banget kami enggak makan di sini. Mungkin dua tahun. Tempatnya sudah jauh berubah.

IMG_20170525_084019_HDR
Menu nasi merah, sayur lombok ijo, lauk ayam goreng kampung, dan kripik belalang habis 77 ribu! Belalang lebih mahal daripada ayam kampung, saudara-saudara!

Setelah makan, kami langsung lanjut. Kami melewati Pracimantoro dengan jalan nasionalnya yang masih saja belum beres, tapi sudah ada perkembangan sih.

IMG_20170525_093622_HDR
Jalan yang sudah “mendingan” dibandingkan sebulan yang lalu.

Jalan lebar banget ini sudah enggak terlalu hancur seperti sebulan lalu (apalagi setahun lalu) meski masih offroad gitu, deh. Saya memperkirakan kami akan tiba di Pacitan sebelum jam makan siang. Jadi, kami tidak makan siang di RM Bu Gandos kali ini. Saya dadah dadah begitu melewati Bu Gandos!

Nah, kali ini keinginan saya untuk melihat Pantai Soge terwujud. Yeay! Tapi, kami enggak turun ke pantai. Pemandangannya justru bagus dari atas, begitu hendak menuruni jalan mulus di pinggir pantai. Pantai Soge ini termasuk pantai yang bisa dilihat dari pinggir jalan raya. Enggak banyak pantai di Jawa bagian selatan yang bisa dilihat dari pinggir jalan.

Untung ada warung makan kecil yang cukup strategis untuk menikmati pemandangan indah pantai dari atas. Berhubung hari itu kami belum minum kopi dan masih kenyang sarapan, kami cuma minum kopi sambil menikmati angin dan pemandangan laut lepas. Hanya sekitar setengah jam kami habiskan waktu di bukit Pantai Soge.

IMG_20170525_111324_HDR
Pantai Soge.
IMG_20170525_113921_HDR
Ini pantai tersembunyi, semacam teluk kecil, di sisi kanan, terlihat dari bukit.

Kembali ke atas jok motor, kami lanjut dengan tujuan pantai setelah Pantai Pelang di Trenggalek. Saya sempat googling dan menemukan pantai pasir putih Trenggalek. Kalau menurut Mbah Google, tempatnya masih jauh dari Soge. Tak apalah, kami coba saja dulu. Pokoknya menuju Trenggalek. Nah, kali ini menjelang PLTU Pacitan, Bapake mengingatkan untuk menyiapkan kamera, dan Bapake berhenti begitu PLTU sudah di depan mata. Hahahaha. Masa kali ketiga lewat sini enggak motret juga? T.E.R.L.A.L.U! Sebenarnya, sih, lebih bagus kalau difoto dari atas motor. Hehehe.

 

Sekitar 1 jam dari PLTU kami sudah masuk Trenggalek. Saatnya bertanya pada Mbah Googlemaps. Tapi, Bapake enggak mau benar-benar mengandalkan si mbah Google. Baiklah. “Di balik jalan yang susah ada surga yang tersembunyi.” Hahaha. Saya di belakang sambil melihat peta alias Mbah Googlemaps. Lama-lama kami keluar dari jalan utama, melewati jalan yang cuma terlihat garis putih tipis di peta. Inilah yang terjadi. Hahaha.

 

Ketemu jalan yang rusak lagi, saya masukkan lagi ponsel, konsentrasi berpegangan pada Bapake. Kembali ke moto tadi, “Di balik jalan yang susah, ada surga yang tersembunyi.” Bagaimanakah, saya penasaran dengan posisi kami. Ternyata…kami masih jauh!!!!

 

Saya agak pesimis ketika melihat posisi kami di peta. Apalagi, medan jalan yang naik turun, jalan rusak, yang memperlambat jarak tempuh. Ya sudahlah pantai mana saja, deh. Sinyal kembang kempis pula, peta Mbah Google kadang hilang. Ya sudah, pakai insting saja mengikuti jalan hingga masuk perkampungan. Akhirnya, kami bertemu penduduk setempat, dua gadis ABG yang berboncengan motor. Mereka menyebut dua pantai terdekat dari posisi kami. Pantai yang satu, kami harus balik arah sedikit, sedangkan pantai yang satu lagi, kami semakin menjauh dari Jogja. Akhirnya, kami menjauh dari Jogja atas rekomendasi mbaknya.

Satu hal lagi nih, ukuran penduduk setempat dengan kami itu berbeda. Mungkin juga dengan kebanyakan travellers, ya. Mereka bilangnya dekat, hanya 10 kilometer (misalnya), ga sampai 30 menit,  kenyataannya adalah hampir dua kali lipatnya. Bagi kita, ukuran dekat mereka itu ternyata jauh. Hehehe. Itulah yang terjadi ketika kami mencari Pantai Ngadipuro. Apalagi dengan petunjuk seadanya.

Jalan 75% hancur dan memang enggak mungkin dilewati mobil kalau dari arah kami karena sempit juga. Namun, kami akhirnya melewati jalan yang cukup besar. Perkampungan yang cukup ramai. Di situlah Bapake baru sadar bahwa lampu tambahan di depan crashbar-nya lepas. Ini pasti karena melewati jalan yang ampun deh. Berhentilah kami sejenak; Bapake berusaha benerin, tapi ternyata enggak bisa 100%.

 

Sebenarnya, kalau saya lihat peta, posisi kami berhenti itu sudah enggak jauh dari pantai. Tapi, dari mana akses masuknya, ya? Berhubung Bapake pede, kami lanjut saja ke arah timur hingga ketemu lagi jalan menyempit dan jelek. Agak ajaib ini kalau mobil lewat sini. Lupakanlah kalau mau ke sini naik mobil besar ataupun ceper. Mau naik mobil besar, bisa pusing kalau pas berpapasan. Mungkin paling pas naik mobil semacam Suzuki Carry atau pikap. Btw, Carry tuh seperti Supra, lho, di desa-desa. Ramping, mesin bandel, no worries, deh. Hehehe.

Akhirnya, pada suatu titik kami merasa ragu, sepertinya kami semakin menjauh dari pantai. Kami pun bertanya kepada seorang bapak-bapak yang lewat. Ternyata benar, kan. Kami kelewat!

IMG_20170525_134752_HDR
“Malu bertanya, sesat di jalan.”

Bapak itu menawarkan kami mengikuti dia sampai jalan masuk pantai. Haia, ternyata jalan masuknya enggak jauh dari tempat kami berhenti untuk memperbaiki lampu depan! Sebelum masuk, kami mampir ke warung untuk beli minuman. Bapak penjual bilang bahwa di pantai itu enggak ada warung makan. Waduh. *Btw, ada mobil yang sedang menurunkan muatan warung. Hmmm … dari mana, ya, masuknya?*

IMG_20170525_135247_HDR
Jalan kecil yang agak rusak menuju pantai.

Kami putuskan untuk tetap ke pantai yang dinamai Ngadipuro. Wuih …. cantik! Ternyata yang kami tuju itu adalah kampung nelayan! Berjajar dengan rapi perahu nelayan dengan pemandangan gugusan pulau di kejauhan. Beberapa kali kami ke kampung nelayan (pantai yang ada perahu nelayannya), dan ini adalah pantai dengan pemandangan terindah di antara yang pernah kami datangi. Sayangnya enggak ada warung untuk makan atau bahkan sekadar minum kopi. Sepertinya enggak ada pengunjung lainnya, nih. Benar-benar kampung nelayan. Satu hal sih, pemandangan di belakang perahu mengingatkan saya pada pantai di Candidasa, tapi tanpa perahu nelayan. 🙂

IMG_20170525_141152_HDR
Perahu nelayan berjajar rapi dengan pemandangan gugusan pulau.

 

wp-1498731002208.

 

Ada yang menarik, sih, di sini. Bapake dengan pedenya memarkir motor di pasir. Dan, inilah yang terjadi. Hehehe.

Dari perbincangan dengan bapak nelayan, kami tahu bahwa pantai ini memang bukan IMG_20170525_144002_HDRpantai wisata. Ini memang kampung nelayan. Kalau mau cari yang ada makanannya, ya, ke Pantai Blado, di seberang sana yang terlihat dari tempat kami berada. Katanya, sih, enggak sampai setengah jam. Oh, baiklah. Saya juga sudah mulai lapar!

Setelah melewati jalan yang jelek tadi, akhirnya kami memasuki jalan bagus, dan … keluar di jalan raya! Mulus! Keluar di jalan raya, enggak jauh kemudian, kami menemukan pantai yang dimaksud bapak nelayan tadi. Sebelum gerbang masuk pantai ada warung makan yang tampak cukup oke. Tapi, kami masih penasaran dengan pantai, siapa tahu di tepi pantai ada warung makan seafood. Dari jalan raya enggak jauh kok masuknya. Sayangnya, setelah menyusuri tepian pantai, tidak ada warung makan seafood yang buka! Ada sih warung biasa. Yah, sudah di tepi pantai, masa makannya bukan seafood? Hehehe.

 

IMG_20170525_151100_HDR
Dari atas motor ketika mencari warung makan.

Berhubung sudah lapar, kami putuskan untuk kembali ke depan dan makan di warung yang berada di samping gerbang. Makan siang telat ini judulnya. Kami enggak berekspektasi apa-apa kalau makan di warung yang kami enggak dapatkan rekomendasinya dari siapa pun. Semoga enaklah. Untungnya di sana ada menu seafood yang dinamakan nasi paprika. Untungnya lagi, nih, penjual warung bilang ada menu tambahan ikan asap. Hore! Alhamdulillah makanannya enggak mengecewakan, lho. Dimasak dengan serius.

IMG_20170525_153741_HDR.jpg
Untuk ukuran warung makan dekat pantai, menu ini enak (ditambah lagi kesegaran udang dan ikan asapnya yang dari ikan segar), dan terjangkau, sekitar Rp 60.000 dengan soda gembira dan kopi.

Setelah makan, meluruskan kaki, mengobrol dengan pemilik warung, dan shalat, kami kembali ke pantai. Sudah sampai sana, masa enggak turun? Pantai ini kece juga meski bukan pasir putih. Tenang pula. Ada seorang anak bermain layang-layang. Beberapa anak muda, dan 1-2 keluarga kecil. Tampak juga muara di ujung pantai dan sepertinya bisa naik perahu dari muara ke laut, seperti di sebuah pantai di Pacitan (ah, saya lupa, kalau sudah ingat, saya perbarui deh).

wp-1498730994929.IMG_20170525_163603_HDR

IMG_20170525_164604_HDR

IMG_20170525_163054
Tenang dan sepi padahal hari libur.

 

Sungguh, saya masih berharap akan menginap di tengah perjalanan mengingat jarak yang cukup jauh dari Jogja. Duh, masih sekitar 6 jam perjalanan, sedangkan saat itu sudah pukul 5.00 sore! Tapi, jadwal besok sudah menanti! Haia. Sebelum pulang, saya sempatkan beli ikan cakalang asap yang dijual di warung depan pantai.

IMG_20170525_164128_HDR
Berbagai ukuran, beda harga. Ukuran sedang hanya Rp25.000/3 ekor. Murah, kan?

Sesuai saran pemilik warung tadi, kami enggak melewati Kota Trenggalek, tapi langsung tembus sampai ke Ponorogo. Kalau setahun lalu kami lewat Kota Ponorogo, kami makan satai. Tapi, tahun ini kami lewati saja karena masih kenyang dan belum cukup malam untuk makan malam. Oh iya, dalam perjalanan menuju Ponorogo, menjelang magrib, di antara perbukitan, Bapake bertanya-tanya apakah yang dilihatnya di kejauhan itu batu yang sama ketika kami menuju Ponorogo tempo hari? Menurut saya, sih, bukan.

wp-1498053949334.
Ternyata memang bukan. Hehehe.

Semakin ke barat, semakin malam, saya mulai lelah (dan semakin berharap akan menginap, hehehe). Bapake juga bertanya beberapa kali tentang kondisi saya karena pada perjalanan sebelumnya saya tepar. Hehehe. Alhamdulillah langit cerah sepanjang perjalanan kami. Saya bisa menikmati bintang-bintang di langit meski enggak seperti di wallpaper ponsel. Hehehe.

Akhirnya, sekitar pukul 9.00 kami berhenti untuk makan malam di Kota Wonogiri. Karena lelah, pengin makan yang enak dan nyaman, kami putuskan untuk makan di Restoran Padi. Restoran ini terlihat ramai sehingga menarik untuk dikunjungi. Dengan menu Chinese Food (rata-rata Rp25.000 satu menu, bisa buat berdua) dan untungnya di sebelah ada toko kue dan kedai kopi, kami makan dan beristirahat sejenak. Saya pribadi merasa terbantu dengan rebahan sejenak di sofa kedai kopi dan minum beberapa teguk kopi yang dipesan Bapake.

Akan tetapi, Jogja sudah memanggil-manggil kami. Agenda besok pagi sudah terbayang. Pukul 10.00 malam, ketika restoran sudah mulai tutup, kami lanjut ke Jogja dengan sisa tenaga. Alhamdulillah sampai di rumah pukul 11.30. Pengalaman pertama kami menempuh perjalanan bolak-balik selama 16 jam, sekitar 450 km. Butuh fisik yang kuat memang (halo, olahraga!!!!). Sepertinya perlu diagendakan untuk mengeskplorasi Trenggalek dan sekitarnya, mewujudkan berkunjung ke pantai yang saya kasih bintang di peta. Yang ternyata masih sekitar 50 km dari Pantai Blado. Tentu saja dengan menginap semalam biar puas dan enggak kecapekan. 🙂

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a comment