Satu Setengah Hari Menuju Lombok dari Jogja (Day 1)

Setelah dua tahun absen touring jauh, alhamdulillah akhirnya terlaksana juga Juli yang lalu. Mepet banget dengan hari pertama masuk sekolah pada tahun ajaran baru. Padahal, liburan sekolah tahun ini lama banget. Hahaha. Apa daya, Bapake sedang sibuk-sibuknya dan baru bisa menjawab akan berangkat touring sekaligus travelling with kids tujuh hari menjelang keberangkatan.

Kali ini tujuannya ke daerah bagian waktu Indonesia tengah alias menuju timur Jogja. Dua tahun lalu kami sudah ke Bali maka kali ini kami ke Lombok. Sempat terpikir untuk semakin ke timur lagi. Namun, setelah dihitung-hitung waktu dan biayanya, enggak mungkin terlaksana. Berhubung sudah mepet masuk hari pertama masuk sekolah, kami harus merencanakan dengan cukup matang kegiatan selama di Lombok bersama anak-anak. Selain itu, kami harus memutuskan apakah anak-anak akan menyusul bersama neneknya seperti dua tahun lalu atau hanya berdua. Kalau Bapake, sih, pede melepas kedua anak kami untuk terbang tanpa ditemani orang dewasa. Lagi pula, Kakak sudah (akan) kelas 1 SMP. Insyaallah sudah cukup mandiri dan tahu apa yang harus dilakukan. Adek yang (akan) kelas 2 SD yang perlu dikuatkan. Mungkin akan saya ceritakan terpisah tentang terbang tanpa ditemani oleh orang dewasa. 🙂

Karena anak-anak terbang hanya berdua, kami harus memikirkan kenyamanan mereka. Karena itu, penerbangan langsung Jogja ke Lombok adalah yang utama! Hehehe. Sayangnya penerbangan langsung dari Jogja ke Lombok hanya ada satu kali dalam sehari pada petang hari (dan biasanya telat). Begitu pun dari Lombok menuju Jogja, hanya ada satu kali sehari dan penerbangan pertama pukul 06.00 WITA! Karena kami pesan tiket tujuh hari menjelang hari H, harga tiket pun selisih banyak! Huhuhuhu. Dua tiket pp selisihnya Rp670.000! Apa boleh buat. Jadi, paling aman memang pesan tiket H-14, deh. Kemarin itu aja harga tiket dalam sehari naik tiga kali! Hiks.

Saya pikir tiga hari penuh cukuplah untuk liburan singkat di Lombok (dan ternyata saya salah!). Malam tiba di Lombok, tiga hari jalan-jalan di Lombok, esok subuhnya pulang. Anak-anak enggak perlu bolos meski dari bandara harus langsung ke sekolah. Padat dan singkat, tapi berkesan. Haia …. Jadi, Kamis malam (pkl. 20.00 WITA) anak-anak sudah di Lombok sehingga Senin pagi (pkl. 06.00 WITA) mereka sudah terbang kembali ke Jogja. Itu artinya bahwa kami harus sampai di Lombok paling telat Kamis sore! Catat! Padahal, kami baru bisa berangkat pada Rabu pagi! *tutup mata

Seharian saya buka Googlemaps, mencoba atur rute dan jadwal. Gila, nih. Ini berarti sehari minimal 14 jam perjalanan naik motor menuju Ketapang? Belum sama istirahat untuk shalat, makan, minum, dan isi bensin. Oh, iya, lalu naik feri yang tidak bisa diprediksi waktunya (berdasarkan pengalaman ke Bali). Belum lagi, Bapake paling anti lewat jalur utara yang biasanya ramai oleh truk. Hehehe.

Jadilah pada hari H, kami berangkat molor hampir 1 jam. Harapannya waktu itu adalah berangkat setelah subuh (ya, kira-kira pukul 05.00 WIB). Tapi, pukul 05.45 juga setelah subuh, kan? Hihihi. Setelah shalat Shafar, kami berangkat lewat Klaten. Kalau bukan karena mengejar waktu segera tiba di Lombok (alias ngoyo), Bapake enggak mau lewat sana. Alhamdulillah jalanan masih sepi. Sunrise kami nikmati di atas motor. Dari Klaten kami menuju Wonogiri, terus sampai akhirnya berhenti di Kota Ponorogo untuk makan pagi. Waktu yang kami tempuh hanya 2,5 jam! Rekor!

IMG_20180711_082532.jpg

Ini bukan kali pertama lewat Ponorogo, tapi kali pertama kami lewati pada pagi hari. Enggak asyik, deh, kalau pagi-pagi makan satai ayam. Untungnya kami melewati warung soto ayam (khas Ponorogo). Makan pagi sesuai bujet, Rp36.000. Yes! Hehehe.

Setelah menyarap soto dan ke kamar kecil, kami melanjutkan perjalanan. Jalanan kota sudah mulai agak ramai. Dari Ponorogo kami turun menuju Trenggalek, Tulungagung, dan Blitar. Ingat, kan, Bapake enggak mau lewat utara meski itu bisa mempercepat perjalanan. Kami sempat mengisi bensin sekali. Alhamdulillah lancar hingga akhirnya kami berhenti di Dampit, makan siang yang kesorean. Pilihan makan siang jatuh pada bakso Malang yang pernah kami makan dua tahun yang lalu. Bedanya, kali ini tidak dalam keadaan basah karena kehujanan. Hahaha.

Dari Dampit, melewati perbukitan, kami menuju Lumajang. Hari semakin sore. Nah, di sini kami sempat berhenti sesaat karena melihat banyak orang berhenti di atas jembatan dan sekitarnya. Ternyata di sisi kiri kami ada sebuah jembatan lawas dengan pemandangan perbukitan. Bahkan, ada spanduk imbauan bagi yang hendak berswafoto atau foto-foto di situ. Ada spot swafoto juga dan warung kopi di tepi bukit. Ini yang dinamakan dengan selfienomic. Hmmm … Bapake sering bilang begitu, sih, kalau kami melewati daerah yang banyak area selfie. Satu sisi, tren orang-orang untuk berswafoto ini membuka lapangan kerja bagi penduduk sekitarnya, seperti warung kopi atau warung makan. Macam-macam kreativitasnya dalam membikin spot swafoto.

Hiburan melihat kereta lewat.

Ada juga hal menarik lainnya yang menarik perhatian kami ketika memasuki wilayah Jawa Timur. Kami cukup sering melewati jalan yang ditunggui oleh orang-orang yang meminta sumbangan pembangunan masjid. Mulai dari masjid yang pas di pinggir jalan ataupun yang agak masuk ke gang.

Kembali lagi, jangan ditanya bagaimana kabar pinggang saya. Hehehe. Saya sempat beli plaster antipegel untuk mengurangi rasa pegal. Apalagi, sebenarnya sehari mau berangkat, gejala spondylosis lumbalis saya agak kambuh. Namun, saya yakinkan bahwa saya sehat! Saya mau touring! Dan, saya sengaja enggak bilang ke Bapake supaya enggak khawatir. Hehehe. Masih terkendali, kok. Sebelum berangkat pun, saya pijat ke langganan saya dan rutin mengonsumsi suplemen untuk mengurangi/mengendalikan autoinflamasi. Plus itu tadi, mikir senangnya saja. Untungnya juga, nih, “bagasi” kami berupa Drybag 600 dari SWMotech, yang bisa saya pakai untuk bersandar juga. Hihihi.

Semakin sore, mental saya sebagai penumpang mulai surut juga. Kapan sampainya ini? Berasa kayak Donkey di film Shrek. Hahaha. Ngintip GPS, kok masih lama, ya? Namun, tekad untuk harus sampai di Lombok pada Kamis sore mengalahkan rasa lelah itu. Alhamdulillah juga keadaan motor dalam kondisi prima, sudah dibikin senyaman mungkin. Shockbreaker motor sudah diganti dengan yang biasa dipakai pada motor BMW GS.

Dalam keadaan target harus menyeberang ke Bali malam itu juga, Bapake benar-benar fokus ke jalan. Toh, rute ini sudah pernah kami lewati juga dua tahun yang lalu. Selain untuk isi bensin, kami juga sempat beberapa kali berhenti untuk sekadar meluruskan kaki dan minum kopi di sebuah minimarket. Untuk minum air putih jelas andalan kami adalah camelbag yang selalu saya bawa di punggung. Kalau Bapake butuh air putih, saya tinggal menyodorkan selang ke depan sehingga tetap bisa minum sambil mengendarai motor. Camelbag ini sangat membantu dan mengurangi rasa capek dalam perjalanan, apalagi kalau cuaca sedang panas.

Sekitar magrib kami memasuki wilayah Jember dan memutuskan untuk makan malam di sana. Pilihan jatuh pada nasi lalapan atau yang di Jogja lebih dikenal sebagai penyetan.

Nasi lapapan ayam kampung.

Setelah menjamak shalat Magrib dan Isya di masjid seberang warung makan, kami melanjutkan perjalanan hingga akhirnya kehujanan di sekitar Gumitir. Untungnya saya tetap membawa mantel hujan ketika touring meski pada bulan-bulan kemarau ini. Maklum saja, cuaca di Indonesia belakangan ini agak kacau dan riding dalam keadaan basah sebenarnya enggak menyenangkan.

Masih dengan mantel hujan meski sudah enggak hujan, kami memasuki Pelabuhan Ketapang sekitar pukul 22.30 WIB. Lega rasanya. :)) Harga tiket feri Ketapang-Gilimanuk masih sama dengan dua tahun yang lalu: Rp24.000 untuk motor di bawah 500 cc (motor kami 470 cc, mepet bener dengan batasan. Hehehe). Sebelum beli tiket, kami harus mengisi data penumpang. Alhamdulillah, kami tidak perlu menunggu terlalu lama. Feri yang akan segera berangkat masih bisa menampung kami. Tidak sampai 15 menit tiba di pelabuhan, kami sudah menyeberang ke Bali.

Kami memilih duduk di luar ruangan kapal karena lebih leluasa untuk beristirahat. Angin berembus kencang dan suara dentuman ombak pun terdengar keras. Lelah jelas terasa. Ingin segera saya rebahkan diri dan pejamkan mata. Sebenarnya saya sempat agak khawatir juga karena beberapa hari sebelum berangkat, kami mendapat kiriman video tentang air yang masuk ke lantai bawah feri. Bismillah, kami memohon perlindungan kepada Allah.

Hingga di atas feri, kami belum tahu di mana akan menginap di Bali. Saya coba buka aplikasi pemesanan hotel dan ada notifikasi apakah pemesanan untuk saat itu juga atau keesokannya. Saya baru ngeh bahwa ketika kami tiba di Bali, waktu sudah bergeser ke tanggal berikutnya. Enggak berani ambil risiko, saya akhirnya membatalkan niat memesan via aplikasi. Lihat nanti sajalah, sedapatnya penginapan di mana.

Alhamdulillah, sekitar 1 jam berlayar kami tiba di Pelabuhan Gilimanuk. Betapa senangnya saya membayangkan akan segera merebahkan diri di atas kasur empuk. Hahaha. Kenyataannya? Kami tetap melaju hingga berhenti di sebuah minimarket kira-kira setengah jam dari pelabuhan. Di sana kami buka Googlemaps dan memutuskan untuk bermalam di sekitar Singaraja. Okelah, kurang dari satu jam perjalanan lagi masih bisa dipaksakan. Hehehe.

Memasuki Singaraja dan melihat rumah-rumah di sepanjang jalan, saya mulai pasang mata mencari penginapan yang tampak masih buka. Beberapa penginapan saya lihat sudah tutup, entah itu gerbangnya ditutup atau terlihat gelap dari luar. Bagi kami, sih, yang penting kamar bersih dan terjangkau karena dipakai hanya beberapa jam. Akhirnya, saya lihat sebuah penginapan yang terbuka gerbangnya. Saya turun dari motor dan berjalan ke arah sebaliknya. Alhamdulillah, penjaganya stand by di situ. Setelah melihat kamar dan sepakat dengan harga kamar, kami beristirahat. Pfiuh …. Hari pertama yang luar biasa. Total 18,5 jam perjalanan dari Jogja hingga Singaraja!!! Sekitar pukul 2.00 WITA kami tertidur.

*Lanjut di bagian 2

*Jurnal perjalanan ini ditulis sebulan setelah pulang dari Lombok, beberapa minggu setelah Gempa Lombok pertama pada 29 Juli 2018. #PrayforLombok. #LombokBangkit. Semoga segera berakhir gempa yang terus melanda Lombok hingga jurnal ini diterbitkan (24 Agustus 2018). Semoga Lombok segera bangkit dan pulih pariwisatanya.