Rezeki Tak Akan Ke Mana-Mana (Day 2, Jogja-Lombok-Jogja)

Jangan ditanya gimana rasanya bangun setelah menempuh perjalanan selama 18,5 jam dan tidur pada pukul 2.00 WITA! Mau santai-santai juga enggak bisa karena kami dikejar waktu harus sore itu juga tiba di Lombok. Setelah subuhan, kami keluar kamar dan melihat pemandangan dari hotel lawas ini. Dari interiornya, terlihat bahwa hotel ini hotel lawasan. Kamarnya besar dengan double bed, ada lemari, ada TV, kamar mandi dalam dengan bathup (hari gini jarang banget ada hotel standar dengan bathup; dan bathup-nya sudah bopeng-bopeng, hehehe), sebuah sofa sedang, nakas, dan sebuah lukisan tergantung di atas dipan. Bau-baunya pun bau lawas, tapi bagi kami oke-oke aja selama bersih dan enggak ada tikus (iya, beneran, kami pernah menginap di “hotel” dengan “tamu” alias ada tikus)!

Teras kamar yang menghadap laut

Ternyata pemandangan dari hotel lawas ini oke juga. Ada teras hotel yang langsung menghadap laut. Di teras itu kami duduk sambil menikmati sarapan pembuka (jus buah dan cemilan), sementara menunggu sarapan dibuat oleh penjaga hotel. Bapake sempat-sempatnya nonton highlight pertandingan bola via hape. Penting itu bagi Bapake! Sementara itu, saya bersiap-siap. Jadilah pagi itu kami makan pagi setangkup roti isi dengan secangkir kopi. Ganjel perut ini, mah, namanya. Hehehe. Untuk hotel lawas dengan kamar besar dan perlengkapan lawasnya, pemandangan laut lepas dari teras, dan sarapan seadanya, harganya Rp275.000 (ternyata ada pajak 10%), agak mahal sedikit buat tidur hanya beberapa jam. Bagaimanapun, alhamdulillah masih bisa bobok enak di kasur empuk, ya.

Dari pinggir belakang hotel

Pas pukul 9.00 WITA kami sudah kembali melaju di atas motor. Masih di jalur utara Bali. Kami harus segera tiba di Pelabuhan Padang Bai sebelum pukul 12.00 untuk mengejar kapal feri yang kira-kira akan tiba di Pelabuhan Lembar sebelum pukul 18.00 WITA. Menurut jadwal, pesawat yang ditumpangi anak-anak akan tiba sekitar pukul 18.00 WITA. Pengalaman sebelumnya membuat kami jadi waswas karena kali ini anak-anak tidak didampingi neneknya. Bagaimanapun caranya, kami harus tiba di Bandara Praya sebelum pesawat anak-anak mendarat.

Pagi itu kami mencoba mengenali Gunung Agung dari atas motor di jalan. Kami sempat berhenti sebentar dan menerka-nerka wujud Gunung Agung di antara bentuk-bentuk puncak yang kami lihat. Beberapa waktu sebelum kami ke Bali, Gunung Agung sempat “batuk”. Kami (terutama Bapake) sangat takjub melihat foto seorang selebgram (traveller asing) yang mendapatkan momen ketika Gunung Agung erupsi. Namun, saat kami di sana, Gunung Agung dalam keadaan aman-aman saja.

Mencari Gunung Agung

Bahagia rasanya melihat pemandangan di sisi kiri adalah laut dan pantai, sedangkan di sisi kanan adalah rumah penduduk (atau hamparan ladang) dengan latar belakang gunung/perbukitan. Ini di jalan utama Bali, ya. Pemandangan seperti ini tidak bisa ditemui di daerah Jogja. Lanskap Bali (juga Lombok) memang berbeda dengan lanskap Jogja. Pantai-pantai pasir putih/cokelat di daerah Jogja tersembunyi di balik bukit-bukit.

Laut, oh, laut
Rumah adat Bali dari pinggir jalan

Setelah hampir tiga jam nonstop berkendara, saya sangat lega ketika tanda Pelabuhan Padang Bai sudah di depan mata. Namun, saya belum sepenuhnya lega karena belum tahu apakah bisa naik feri saat itu juga atau enggak. Kalau ternyata enggak bisa, entah berapa lama kami harus menunggu feri yang berikutnya. Ombak saat itu memang sedang kencang sehingga perjalanan laut bisa lebih lama atau bahkan tertunda.

Pelabuhan Padang Bai tidak sebesar Pelabuhan Gilimanuk. Untuk menyeberang ke Lombok, kami tidak mengisi formulir seperti ketika hendak menyeberang ke Bali. Setelah membayar tiket masuk untuk sepeda motor, yang terlintas di kepala saya adalah segera mencari warung makan muslim di dalam pelabuhan. Alhamdulillah mata saya menangkap penanda warung makan muslim. Begitu motor berhenti di depan jembatan gerbang masuk feri, saya langsung turun dan berjalan cepat ke warung. Saya diburu-buru waktu karena feri yang di depan mata kami sudah hampir penuh.

Setelah memesan dua porsi nasi bungkus lengkap, saya setengah berlari menuju motor. Enggak lama setelah saya tiba di sana, kami disuruh segera masuk feri. Pfiuh … rasanya lega banget. Kami adalah penumpang terakhir yang naik feri itu. Motor kami pun parkir menyempil di belakang truk-truk. Alhamdulillah. Apalagi setelah duduk di teras kapal, Bapake cerita bahwa kalau bukan karena pengendara motor di depan kami enggak ada di tempat, kami enggak mungkin bisa naik feri siang itu. Tiba-tiba saja, anak pengendara motor di depan kami minta dibelikan susu oleh ayahnya. Ketika petugas menyuruh masuk, bapaknya belum kembali. Karena itulah, kami bisa naik feri itu. Alhamdulillah, sudah jadi rezeki kami. Allah meridai perjalanan kami supaya bisa segera bertemu dengan anak-anak. 🙂

Di atas feri kami memilih duduk di geladak menghadap pelabuhan. Kami melihat jembatan penghubung feri naik dan perlahan feri meninggalkan Pelabuhan Padang Bai. Setelah berlayar beberapa menit, kami melihat petugas mengulurkan benang pancing dengan pemberat dan kail-kail terpasang dari pinggir kapal. Setelah itu, kami menikmati makan siang nasi bungkus. Perjalanan masih lama, antara 4-5 jam, bergantung ombak saat itu.

Belum lama setelah makan siang, Bapake tertidur. Memang enak, sih, kalau bisa tertidur terkena angin dari laut. Kami duduk lesehan, kadang bersandar pada dinding dan tas yang kami bawa. Panas cukup menyengat, terik matahari terasa; silau. Sinyal sempat ada beberapa waktu, kemudian menghilang. Di atas kapal, kami bergantian shalat di musala kapal di Lantai 3. Di Lantai 3 saya temui rombongan anak-anak muda tertidur, yang kalau dilihat dari penampilannya seperti para mahasiswa pecinta alam. Gunung Rinjani memang menjadi tujuan bagi para pecinta alam.

Setelah shalat dan kembali ke lokasi duduk, saya sempat tertidur sejenak. Begitu bangun, saya melihat Bapake sudah di lantai bawah. Rupanya petugas feri berhasil memancing seekor ikan. Saya lihat dari atas, Bapake juga ngobrol dengan seorang turis asing. Sepertinya bermula dari ikan hasil pancingan. Di atas, saya pun sempat ngobrol sebentar dengan seorang bapak yang tinggal di Lombok. Istrinya orang Bali dan mereka baru saja pulang setelah menengok keluarga di Bali.

Singkat cerita, di atas feri itu, kami berkenalan dengan sekeluarga orang Italia yang tinggal di New Zealand. Mereka sangat ramah dan terbuka. Sebelumnya, mereka berlibur ke Bali sudah hampir seminggu, lalu akan ke Lombok selama beberapa hari. Mereka belum punya rencana matang akan ke mana saja selama di Lombok. Rencana mereka hanyalah akan berselancar. Berbeda dengan kami yang sudah punya rencana (A, B, C) selama di Lombok.

Setelah mengobrol lebih detail lagi, ternyata mereka sudah memesan homestay di sekitar Koeta. Namun, mereka belum tahu caranya akan ke Koeta dari Bandara Praya. Karena homestay mereka cukup dekat dari hotel yang kami pesan di Koeta, kami ajak gabung sore itu. Kami sudah pesan sewa mobil untuk selama di Lombok. Kami juga ajak mereka untuk berbagi perahu pada perjalanan esok hari untuk snorkeling menuju beberapa gili. Lumayan banget, kan, kalau bisa paroan bayar perahu? Hehehe.

Hari sudah mulai petang, menjelang pukul 6.00 sore, ketika feri kami akan mendarat di Pelabuhan Lembar. Beberapa waktu sebelum mendarat, saya sudah ditelepon oleh sopir yang mengantar mobil yang akan kami sewa dari kenalan kami. Senang rasanya melihat dataran setelah sekitar lima jam berada di atas feri. Perjalanan waktu itu terbilang lama karena ombak cukup deras. Kapal harus berlayar zigzag untuk menghindari ombak yang deras.

Alhamdulillah kami tiba di Lombok dengan selamat. 🙂 Alhamdulillah lagi, kami tiba sebelum anak-anak tiba di Lombok. Ternyata, pesawat yang ditumpangi anak-anak tertunda kedatangannya sehingga kami putuskan untuk ke hotel lebih dahulu. Allah Mahabaik, memberi kami kesempatan untuk istirahat sejenak setelah menempuh perjalanan “ngoyo” selama dua hari: 18 jam plus 8 jam dengan motor dan feri, dari Jogja menuju Lombok. Alhamdulillah.

Setelah bertemu dengan sopir mobil sewaan, saya langsung mengemudi ditemani Keluarga Claudio yang terdiri atas Claudio dan Veronica, beserta anak remaja mereka, Maia. Untungnya mereka cukup fasih berbahasa Inggris sehingga kami bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Ya, meskipun kadang-kadang mereka bicara dalam bahasa Italia. Duh, ngomongin apa, ya? Hehehe.

Hari sudah malam ketika kami tiba di homestay yang mereka inapi. Setelah bertukar nomor ponsel, kami lanjut ke hotel yang kami sewa. Ternyata eh ternyata. Saya itu pesan vila yang ternyata terpisah dari hotel induk. Jadilah kami malam-malam melewati jalan gelap menuju bukit kecil yang menghadap laut. Pembangunannya ternyata juga belum 100% kelar. Duh berasa kayak jurig malam. Namun, kami senang sekali begitu sampai di vila meski kaget karena tidak ada gorden. *tepok jidat* Alasannya, biar enggak ada yang menghalangi pemandangan dari dalam kamar dan pagi-pagi dibangunkan oleh sinar matahari. Ah, tapi, kan ….

Spooky ga, sih?

Sebagai seorang ibu, saya bolak-balik menanyakan kabar anak-anak. Alhamdulillah ada kerabat yang bisa mengantar mereka check in. Sempat kepikiran juga karena anak-anak harus menunggu cukup lama (dan kata mereka gabut) di ruang tunggu karena pesawat ditunda keberangkatannya. Saya bersyukur sekali atas aplikasi bernama Flight Radar. Alhamdulillah, saya bisa mengecek pesawat yang ditumpangi anak-anak sejak mereka lepas landas. Begitu mulai mendekat Bandara Praya, saya kasih aba-aba ke Bapake untuk siap-siap berangkat ke Bandara Praya yang berjarak sekitar 30 menit dari vila.

Baru kali itu saya ke Lombok dan melihat bandara internasionalnya. Saya baru sadar bahwa di sana banyak TKI sehingga area penjemputan kedatangan terbilang luas. Yang menarik perhatian saya juga adalah adanya kios-kios kecil (seperti di terminal bus, terpisah dekat parkiran), bahkan ada penjual kopi sachet keliling! Luar biasa.

Mata saya mencari-cari keberadaan anak-anak yang belum tampak juga. Padahal, pesawat sudah mendarat cukup lama. Saya sempat ragu, benar enggak, sih, Terminal Kedatangan di situ? Bapake yang pernah ke Lombok pun lupa. Alhamdulillah setelah menunggu cukup lama, anak-anak tampak dari kejauhan. Alhamdulillah, perjalanan pertama mereka naik pesawat hanya berdua berjalan mulus meski telat. Mereka masih mengenakan penanda “Unaccompanied Minor”. Ternyata yang membuat mereka telat datang adalah status mereka itu. Pramugari menjemput dan mengantar mereka turun setelah semua penumpang turun dari pesawat.

Karena hari sudah malam (sekitar pkl. 8.00), sudah tidak ada warung makan/restoran di sekitar bandara yang buka. Sepanjang perjalanan menuju vila pun enggak ada restoran yang buka. Baru setelah sampai di Koeta, ada beberapa pilihan. Namun, kebanyakan pilihannya adalah restoran untuk wisman. Koeta di Lombok ternyata sudah seperti daerah selatan Bali yang penuh dengan wisman. Banyak kafe, pub, dan restoran dengan menu asing. Pilihan kami akhirnya jatuh pada burger dan hotdog (yang ternyata enak dan serius bikinnya, satu porsi seharga Rp25.000-30.000) di depan suatu minimarket. Sebelumnya kami mampir di sebuah warung ayam gepuk yang ternyata kehabisan cabe. Hahaha. (Enggak ada fotonya, nih.)

Setelah selesai makan, kami kembali ke vila yang jaraknya agak jauh dari pusat keramaian. Syukurlah saya berhasil memilih tempat yang jauh dari keramaian. Sebelum tidur, kami menikmati pemandangan remang-remang dari pinggir vila ditemani angin malam sepoi-sepoi. Menjelang pukul 11.00 malam Wita, kami bersiap tidur untuk petualangan esok pagi. Alhamdulillah.

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?”

QS Ar-Rahman: 13
Rute Hari Kedua

*Tulisan ini dibuat setengah tahun setelah perjalanan dan pasca-Gempa Lombok dua minggu setelah perjalanan.

**#lombokbangkit